Senin, 13 Juli 2009

NEOLIBERALISME DAN INDONESIA

Apa itu Neoliberalisme ? Mengapa belakangan ini kata itu seperti menjadi momok ditengah-tengah sebagian masyrakat Indonesia?. Apakah neolib membawa kemakmuran bagi Indonesia? Dalam artikel ini penulis akan mencoba menguraikan sedikit mengenai neoliberalisme atau yang akrab disebut dengan neolib dan hubungannya dengan kemakmuran Indonesia.
Jika ingin mengatakan apakah Neolib itu baru, mungkin kita dapat mengatakan ia karena neolib baru saja menjadi topik yang sering di bicarakan kira-kira 10-15 tahun belakangan. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya rasa kekhawatiran masayrakat akan datangnya Era Pasar Bebas dimana seakan-akan para pelaku ekonomi sangat "mendewakan pasar".

Cikal-bakal Neolib muncul ketika terjadi krisis minyak yang melanda dunia tahun 1973. Hal ini merupakan suatu akibat yang dilakukan Amerika Serikat berupa dukungan terhadap sekutunya Israel dalam perang Yom Kippur. Dampak dari dukungan ini adalah mayoritas negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah melakukan embargo terhadap AS dan sekutu-sekutunya. Bukan hanya itu mereka juga melipatgandakan harga minyak dunia, yang kemudian membuat para elit politik di negara-negara sekutu Amerika Serikat berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, dan beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada kondisi seperti inilah ide dan gagasan libertarian muncul sebagai wacana yang urgen, tidak hanya di tingkat nasional dalam negeri tapi juga di tingkat global di IMF dan World Bank.

Pada 1975, di Amerika Serikat, Robert Nozick mengeluarkan artikel berjudul "Anarchy, State, and Utopia". Robert Nozick secara tepat dan brillian menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah "Reaganomics".

Di Inggris, Keith Joseph menjadi arsitek "Thatcherisme". Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran Locke, sedangkan Thatcherisme mengaitkan dengan pemikiran liberal klasik Mill dan Smith. Walaupun sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya sama: Intervensi negara harus berkurang dan semakin banyak berkurang sehingga individu akan lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang akhirnya disebut sebagai "Neoliberalisme".

Paham ekonomi neoliberal ini yang kemudian dikembangkan oleh teori gagasan ekonomi neoliberal yang telah disempurnakan oleh Mazhab Chicago yang dipelopori oleh Milton Friedman.


Di indonesia sendiri semakin jelasnya haluan sistem Perekonomian Indonesia ke neoliberalisme terlihat jelas dari banyaknya aset BUMN yang diprivatisasi dan banyaknya campur tangan IMF. Salah satu agenda yang diperintahkan oleh International Monetary Fund (IMF) yang banyak mengandung pro kontra adalah privatisasi BUMN. Agenda yang pada awalnya diharapkan dapat membangkitkan dan membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik malah mengundang masalah yang semakin rumit terhadap perekonomian Indonesia. Boleh dikatakan agenda IMF ini sangat tidak adil. Hal inilah yang mengundang reaksi keras dari kalangan masyarakat untuk melakukan perlawanan. Banyaknya perlawanan yang timbul dari masayarakat terhadap agenda IMF yang tercantum dalam Letter of Intent (LoI) lebih jelas mengarah kepada isi dari LoI tersebut yang seakan memaksakan pelaksanaan privatisasi BUMN tersebut dengan atau tanpa suatu alasan yang jelas.

Persoalan yang Melanda BUMN

Berdasarkan fungsinya sebagai instrumen peyeimbang mekanisme pasar yang modalnya dimiliki oleh negara atas nama seluruh rakyat indonesia pada dasarnya tidak ada alasan bagi negara untuk menyetujui pemprivatisasian BUMN kepada pihak asing. Hal ini dikarenakan BUMN merupakan milik seluruh anggota masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi persoalan yang serius bagi BUMN dan seluruh masyarakat Indonesia. Sebagaimana seperti yang tercantum dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, "sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Ironis memang jika melihat tampuk produksi yang essensial bagi masyarakat dikuasai oleh seseorang dan tidak menutup kemungkinan rakyat banyak akan terlantarkan.

Memang tidak dapat dipungkiri sejak tahun 1998 kinerja bebrapa BUMN mengalami kemerosotan yang tajam. pada tahun 1988, BUMN yang memiliki kinerja buruk tidak kurang dari 129 perusahaan hal ini diukur dari ROI, rasio, likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas. Sedangkan yang memiliki kinerja baik hanya sekitar 60 perusahaan. Persoalan yang melanda BUMN ini mendorong pemerintah untuk menginstruksikan BUMN agar meningkatkan profesionalitas manajemen BUMN. Hanya dengan peningkatan profesionalitas manajemen BUMN itulah BUMN akan dapat memperbaiki kinerja nya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar